Laporan Praktikum 2 Fisiologi Hewan
Air
PENGARUH
PADAT TEBAR TERHADAP PROSES FISIOLOGIS IKAN
Trisda Sela Mutiara
4443160022
Kelompok 3
JURUSAN
PERIKANAN
FAKULTAS
PERTAN IAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Padat penebaran adaah jumlah atau
kepadatan suatu jenis binatang, misalnya ikan, dan udang, per satuan volume
atau luas tempat pemeliharaan atau kolam pada saat pertama kali ditebarkan.
Padat penebaran optimum untuk setiap jenis ikan atau udang berbeda. Dalam
budidaya ikan atau udang, padat penebarn merupakan salah satu factor yang perlu
diperhatikan, karena dapat mempengaruhi produktivitas perairan tersebut dan
efisiensi pemakaian kolam. Jika padat penebarannya terlalu tinggi, artinya
populasi di dalam perairan tersebut tinggi, produktivitas kolam menjadi rendah
dan tingkat kematiannya tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh timbulnya
persaingan diantara bintang peliharaan dalam memperebutkan makanan; pada hewan
yang bersifat pemangsa, misalnya udang , akan muncul sifat kanibalisme.
Sebaliknya, jika padat tebarnya terlalu rendah, pemeliharaan ikan atau udang
dalam kolam tertentu menjadi tidak efisien.
Lele atau ikan keli, adalah sejenis ikan
yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali karena tubuhnya
yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki "kumis" yang panjang,
yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya.
Banyak jenis lele yang merupakan ikan konsumsi yang disukai orang. Sebagian
jenis lele telah dibiakkan orang, namun kebanyakan spesiesnya ditangkap dari
populasi liar di alam. Lele yang populer sebagai ikan ternak, sebetulnya adalah
jenis asing yang didatangkan (diintroduksi)
dari Afrika.
Jumlah padat tebar pada budidaya ikan lele sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
juga hasil panen pada budidaya tersebut.
Dalam menentukan padat tebar ikan lele baik padat tebar lele dalam kolam
beton maupun kolam terpal. Dibutuhkan perhitungan yang sangat spesifik agar
tidak salah langkah dan menyebabkan ikan lele sulit berkembang.
1.2 Tujuan
Praktikum
pengaruh padat tebar terhadap proses fisiologis ikan bertujuan untuk
mendeskripsikan pengaruh perubahan padat tebar terhadap proses fisiologis ikan
(respirasi).
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan
Klasifikasi
ikan lele secara lengkap adalah sebagai berikut (Arifin 1999).
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygi
Ordo : Ostariophysi
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies: Clarias Sp
Secara
umumnya ikan lele tidak memiliki sisik di bagian tubuh, memiliki kumis di
bagian depan, dan patil di samping. Ikan lele juga berbentuk bulat dan
memanjang, kulitnya licin, berlendir dan memiliki warna bervariasi tergantung
variates ada hitam, kekuningan, dan kecoklatan hitam. Selain itu, ikan lele
juga memiliki sirip yang tunggal di bagian punggung dan juga ekor. Ikan-ikan
marga Clarias dikenali dari tubuhnya yang licin memanjang tak bersisik,
dengan sirip punggung dan sirip anus
yang juga panjang, yang kadang-kadang menyatu dengan sirip ekor, menjadikannya
nampak seperti sidat
yang pendek. Kepalanya keras menulang di bagian atas, dengan mata
yang kecil dan mulut lebar yang terletak di ujung moncong, dilengkapi dengan
empat pasang sungut peraba (barbels) yang amat berguna untuk bergerak di
air yang gelap. Lele juga memiliki alat pernapasan tambahan berupa modifikasi
dari busur insangnya. Terdapat sepasang patil,
yakni duri tulang yang tajam, pada sirip-sirip dadanya. Ada yang
mengatakan,bahwa patil ini tidak hanya tajam tetapi juga beracun dan
mengakibatkan panas tinggi jika orang tak sengaja terkena patil tersebut
(Andrianto 2005).
Lele tidak pernah ditemukan di air payau
atau air asin,
kecuali lele laut
yang tergolong ke dalam marga dan suku yang berbeda (Ariidae).
Habitatnya
di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang
tergenang air. Bahkan ikan lele bisa hidup pada air yang tercemar, misalkan di
got-got dan selokan pembuangan. Ikan lele bersifat nokturnal,
yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan
lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam, ikan lele
memijah pada musim penghujan. Walaupun biasanya lele lebih
kecil daripada gurami umumnya,namun ada beberapa jenis lele yang bisa mencapai
panjang 1-1,5 m dan beratnya bisa mencapai lebih dari 2 kg,contohnya lele
Wels dari Amerika (Arifin 1999).
2.2 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah sejumlah oksigen yang terlarut dalam
suatu perairan; dinyatakan dalam milligram O2 per liter. Kuantitas oksigen daam
sejumlah air tertentu penting bagi organisme perairan untuk melakukan aktivitas
biokimia, yaitu untuk melakukan respirasi (pernapasan), reproduksi, dan
kesuburan. Dengan demikian, makin tinggi kadar DO di permukaan perairan makin
segar air tersebut untuk kehidupan (Hutabarat 2002). Di dalam air, oksigen
memainkan peranan yang sangat penting dalam menguraikan komponen-komponen kimia
menjadi komponen yang lebih sederhana. Karena Oksigen memiliki kemampuan untuk
beroksida dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga zat pencemar
tersebut tidak membahayakan lagi
Limbah organik
sangat berpengaruh pada jumlah oksigen terlarut karena secara alamiah, limbah
organik berupa mikroorganisme dapat mengdegradasi dan menguraikan limbah
organik yang ada sehingga proses dekomposisi oleh bakteri terhadap limbah
organik itu dapat menurunkan
jumlah O2 yang ada. Kekurangan oksigen ekibat dekomposisi limbah
organik oleh bakteri dapat diatasi dengan cara uptake/pengambilan O2
dari udara yang dipenagruhi oleh tekanan aotmosfer ke dalam laut. Di
daerah permukaan penambahan dan pengurangan DO hanya bersumber dari aktivitas
fotosintesis dari tumbuhan air dan adanya perbedaan DO antara dasar dan
permukaan (Dahuri, 2001).
Menurut Ismail
(1994) bahwa
konsentrasi dan distribusi oksigen di laut oleh kelarutan gas oksigen dalam air
dan proses biologi yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen. Proses
fisik juga mempengaruhi kecepatan oksigen memasuki dan terdistribusi di dalam
laut. Kandungan
oksigen terlarut 2 mgr/L adalah kandungan minimal yang cukup untuk mendukung
kehidupan organisme perairan secara normal. Agar kehidupan dapat layak dan
kegiatan perikanan berhasil maka kandungan oksigen terlarut harus tidak boleh
kurang daripada 4 ppm sedangkan perairan mengandung 5 mgr/L oksigen pada
suhu 20 – 30 oC masih dipandang sebagi air yang cukup baik utuk
kehidupan ikan.
Kualitas air
suatu perairan pesisir dicirikan oleh karakteristik kimianya, yang sangat
dipengaruhi masukan dari daratan maupun dari laut sekitarnya. Pada kenyataannya,
perairan pesisir merupakan penampungan terakhir segala jenis limbah yang dihasilkan
oleh aktivitas manusia. Karenya karakteristik kimia perairan pesisir bersifat
unik dan ditentukan oleh besar kecilnya pengaruh interaksi
kegiatan - kegiatan di atas serta kondisi hidrodinamika
perairan pesisir, seperti proses difusi, disolusi dan pengadukan terhadap
substansi kimia.
2.3 Respon
Fisiologis Ikan Terhadap Pengaruh Padat Tebar
Sebagai biota perairan, Ikan
merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua Ikan,
insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari
lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di
dalamnya (Fujaya. 1999).
Wijanarko
(2005) menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses
fisiologis (respirasi) dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada
akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan
makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres
terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan.
Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan
dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat
cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres
ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi
kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak
berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya.
BAB 3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air mengaenai Pengaruh Padat Tebar
Terhadap Proses Fisiologis Ikan telah di laksanakan pada hari Rabu tanggal 27
September 2017 pukul 08.00 WIB – 10.00 WIB di
Laboratorium Hasil Perairan pada tanggal 4 Oktober 2017.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air
mengensi Padat Tebar Terhadap Proses Fisiologi Ikan adalah akuarium, kamera,
lap atau tissue, gayung, DO meter, dan kertas label. Sedangkan bahan yang akan
digunakan pada praktikum kali ini adalah ikan lele 60 ekor.
3.3 Metode Percobaan
Rancangan Acak Kelompok adalah suatu rancangan acak yang
dilakukan dengan mengelompokkan satuan percobaan ke dalam grup-grup yang
homogen yang dinamakan kelompok dan kemudian menentukan perlakuan secara acak
di dalam masing-masing kelompok. Rancangan Acak Kelompok
Lengkap merupakan rancangan acak kelompok dengan semua perlakuan dicobakan pada
setiap kelompok yang ada. Tujuan pengelompokan satuan-satuan percobaan tersebut
adalah untuk membuat keragaman satuan-satuan percobaan di dalam masing-masing
kelompok sekecil mungkin sedangkan perbedaan antar kelompok sebesar mungkin.
Tingkat ketepatan biasanya menurun dengan bertambahnya satuan percobaan (ukuran
satuan percobaan) per kelompok, sehingga sebisa mungkin buatlah ukuran kelompok
sekecil mungkin. Pengelompokan yang tepat akan memberikan hasil dengan tingkat
ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan rancangan acak lengkap yang sebanding
besarnya (Yitnosumarto, 1993).
Rancangan ini dicirikan dengan jumlah kelompok dalam jumlah yang sama dimana
setiap kelompok diberikan perlakuan. Melalui pengelompokan-pengelompokan,
diharapkan galat perlakuan dapat dikurangi. Jika pada rancangan acak lengkap
satuan percobaan yang digunakan harus homogen maka pada RAK itu tidak perlu homogen
dan ketidakhomogenan tersebut akan dikelompok-kelompokkan lagi menjadi
satuan-satuan yang mendekati homogenitas
Tabel
1. RAK Penelitian Pengaruh Ikan Terhadap Padat Tebar
P/u
|
NAMA IKAN
|
||||||||
|
IKAN PLATY
|
IKAN NILA
|
IKAN LELE
|
||||||
|
1
|
2
|
3
|
1
|
2
|
3
|
1
|
2
|
3
|
1
|
0
|
0
|
0.0027
|
0.006
|
0.006
|
0.006
|
0
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3.4 Analisis Ragam
ANOVA
|
||||||
Source of Variation
|
SS
|
df
|
MS
|
F
|
P-value
|
F crit
|
Rows
|
2,38E-05
|
1
|
2,38E-05
|
5,62766
|
0,045086
|
5,317655
|
Columns
|
3,38E-05
|
8
|
4,23E-06
|
1
|
0,5
|
3,438101
|
Error
|
3,38E-05
|
8
|
4,23E-06
|
|||
Total
|
9,15E-05
|
17
|
|
|
|
|
Kesimpulan :
P = Fhit > Ftab = Tolak Hₒ
Berarti
ada atau minimal ada 1 faktor perlakuan yang mempengaruhi ikan terhadap padat
tebar di akuarium dengan beberapa perlakuan yang telah ditentukan.
K = Fhit < Ftab = Gagal Tolak Hₒ
Berarti
tidak ada pengaruh terhadap padat tebar di akuarium yang dilakukan beberapa
perlakuan.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Gambar 1. Grafik
Hubungan antara Laju Kematian dengan DO
Gambar
2. Grafik Hubungan Antara Laju Kematian dengan SR
4.2 Pembahasan
Pada
gambar grafik diatas terlihat sekali bahwa ikan lele tidak mengalami kematian
pada perlakuan padat tebar yang diberikan. Menurut Effendi (2004) Pertambahan
bobot ikan lele diringi dengan pertambahan panjang ikan tersebut atau laju
pertumbuhan bobot harian berbanding lurus dengan laju pertumbuhan panjang
harian ikan lele. Diduga pengaruh terhadap panjang sudah terjadi pada awal
pemeliharaan karena adanya perbedaan kepadatan. Ruang gerak ikan yang semakin
sempit dalam suatu wadah dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi terganggu.
Hal ini juga dipengaruhi dengan kadar oksigen terlarut yang yang berada pada
batas optimal untuk ikan lele.
Gambar
1 menunjukkan bahwa oksigen terlarut yang terkandung pada setiap akuarium
mengalami ketidakstabilan, yaitu terjadi penurunan kadar oksigen pada setiap
aluarium yang telah diberikan perlakuan. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh
pada kehidupan ikan lele, karena ikan lele memiliki kantung insang tambahan
yang seperti pohon yang disebut dengan aborescent. Fungsi aborescent tersebut
ialah untuk pernapasan udara, karena itu ikan ini selalu mengambil udara di
atas permukaan air. (Fujaya 2004)
Gambar 2 menunjukkan bahwa ikan lele
memiliki kelangsungan hidup yang sangat baik. Hal itu diakibatkan karena ikan
lele memiliki alat pernapasan tambahan, sehinggga walaupun ruang geraknya
terbatas, namun ikan lele masih bisa bernapas dengan alat tersebut, yaitu
dengan cara mengambil udara di atas permukaan.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang
telah diperoleh selama kegiatan praktikum berlangsung maka dapat disimpulkan
bahwa ikan lele memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan
lingkungan, khususnya pada padat tebar. Hal ini terjadi karena ikan lele
sendiri memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut dengan aborescent. Fungsi
aborescent tersebut ialah untuk pernapasan udara, karena itu ikan ini selalu
mengambil udara di atas permukaan air, sehingga ikan lele memiliki kelangsungan
hidup yang tinggi.
5.2 Saran
Berdasarkan
hasil pengamatan praktikum ini disarankan perlunya pengamatan lanjut pada
ukuran ikan yang lebih besar dengan perlakuan yang sama sebagai pembanding
dengan data yang telah didapatkan pada pengamatan hasil praktikum kali ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto,
T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan
Lele. Absolut: Jakarta
Arifin,
Z. 1999. Budidaya Ikan Lele. Effhar: Semarang
Dahuri.
2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu.
Pradnya Paramita: Jakarta
Effendi,
I. 2004. Pengantar Akuakultur.
Penebar Swadaya: Jakarta.
Fujaya,
Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta: Jakarta.
Ismail,
H. 1994. Studi Kelayakan Perairan Pulau
Pajenekang. [Skripsi]. UNHAS: Ujung
Pandang
Hutabarat.
2002. Pengantar Oseanografi.
Universitas Indonesia: Jakarta
Wijanarko, P. 2005. Manajemen Kualitas Air. Universitas Brawijaya: Malang
Yitnosumarto,
S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis,
dan Interpretasinya. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar