Laporan Praktikum 3 Fisiologi Hewan Air
PENGARUH
PERBEDAAN KADAR GARAM TERHADAP FISIOLOGIS IKAN

Trisda Sela Mutiara
4443160022
Kelompok 3
JURUSAN
PERIKANAN
FAKULTAS
PERTAN IAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di lingkungan perairan, kondisi
tekanan berbeda dengan keadaan didaratan hal ini dikarenakan perbedaan
parameter fisika yang mempengaruhi. Salah satu parameter yang
mempengaruhi adalah salinitas. Menurut Ye et al. (2009) dalam Abidin (2011)
bahwa salinitas berhubungan dengan tekanan osmotik dan ionik air, baik
sebagai media internal maupun eksternal. Tekanan osmotik media selain
menentukan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh juga mempunyai pengaruh
terhadap metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
reproduksi. Kemampuan ikan mempertahankan keseimbangan antara jumlah air dan
zat terlarut disebut osmoregulasi.
Osmoregulasi merupakan proses
menjaga keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut yang ada dalam tubuh
hewan. Proses inti dalam osmoregulasi adalah osmosis. Dimana osmosis merupakan
pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi menuju
cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (Isnaeni 2006). Kondisi ini
kemudian memaksa ikan ataupun organisme lain untuk dapat melakukan proses
penyesuaian dan pertahanan tubuh terhadap perbadaan konsentrasi ion dan
konsentrasi cairan baik dalam tubuh ikan sendiri maupun terhadap lingkungan
tempat hidupnya. Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
mempertahankan tekanan osmosis dalam tubuhnya.
Disamping itu, perbedaan kondisi
lingkungan juga berpengaruh terhadap ketahanan osmoregulasi yang terjadi pada
tubuh ikan. Berdasarkan perbedaan itulah maka ikan dikelompokkan menjadi tiga
yakni ikan air tawar, ikan air payau dan ikan air laut. Kemampuan tubuh
terhadap perubahan salinitas menjadi pembeda ketiganya. Pada ikan air
tawar cara membatasi pemasukan air dan kehilangan ion yakni dengan cara
membentuk permukaan tubuh yang impermeable terhadap air sedangkan untuk ikan
air laut osmoregulasi diperoleh dengan memasukan ion tertentu dari air laut,
pemasukan tersebut membuat cairan tubuh hewan menjadi hiperosmotik dibandingkan
air laut. Untuk ikan air payau hewan ini memiliki tingkat adaptasi yang baik
terhadap perubahan kadar garam dihabitatnya (Isnaeni 2006). Oleh sebabnya
termasuk dalam kelompok hewan eurohalain. Perbedaan toleransi ikan terhadap
perubahan salinitas diperairan sangat ditentukan oleh fungsi fisiologinya.
Menurut Isnaeni (2006) ikan yang mampu untuk Menggunakan insangnya sebagai
tempat pengambilan ataupun pembuangan air dan berbagai zat terlarut
membuat hewan tersebut memiliki toleransi besar (eurohalin) terhadap perbuahan
salinitas dibanding dengan ikan-ikan yang tidak memiliki daya toleransi yang
besar terhadap perubahan salinitas tersebut atau dalam hal ini bersifat
stenohalin.
1.2 Tujuan
Praktikum
ini bertujuan untuk menentukan kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh
biota akuatik dan responnya untuk mengatasi perubahan keadaan lingkungan.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan
Menurut Haliman
dan Dian (2006), klasifikasi udang putih (Litopenaeus vannamei) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Sub
kingdom : Metazoa
Filum
: Arthropoda
Subfilum
:Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo
: Decapodas
Subordo
: Dendrobrachiata
Familia
: Penaeidae
Sub
genus : Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
Haliman
dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa udang putih memiliki tubuh berbuku-buku
dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting).
Bagian tubuh udang putih sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan
untuk keperluan makan, bergerak, dan membenamkan diri kedalam lumpur (burrowing
), dan memiliki organ sensor, seperti pada antenna dan antenula. Kordi
(2007) juga menjelaskan bahwa kepala udang putih terdiri dari antena,
antenula,dan 3 pasang maxilliped. Kepala udang putih juga dilengkapi dengan 3
pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda). Maxilliped sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada ujung
peripoda beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus). Dactylus ada pada
kaki ke-1, ke-2, dan ke-3. Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen
terdapat 5 pasang (pleopoda) kaki renang dan sepasang uropods (ekor) yang
membentuk kipas bersama-sama telson (ekor) (Suyanto dan Mujiman 2003). Bentuk
rostrum udang putih memanjang, langsing, dan pangkalnya hamper berbentuk
segitiga. Uropoda berwarna merah kecoklatan dengan ujungnya kuning
kemerah-merahan atau sedikit kebiruan, kulit tipis transparan. Warna tubuhnya
putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada ekor (Wayban dan
Sweeney 1991). Udang betina dewasa tekstur punggungnya keras, ekor (telson)
dan ekor kipas (uropoda) berwarna kebiru-biruan, sedangkan pada udang
jantan dewasa memiliki ptasma yang simetris. Spesies ini dapat tumbuh
mencapai panjang tubuh 23 cm ( Wyban dan Sweeney 1991).
Habitat
udang vaname usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai.
Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang
menunjukkan tingkat usia. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5
tahun pada musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya atau calon
spowner berbondong – bonding ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50 meter
untuk melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang. (Wyban dan
Sweeney 1991). Udang vaname sebenarnya bukan udang local atau asli Indonesia.
Udang ini berasal dari meksiko yang kemudian mengalami kemajuan pesat dalam
pembudidayaannya dan menyebar ke Hawaii hingga Asia.
2.2
Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan
garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini
dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan
garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih
dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%,
ia disebut brine (Djoko 2011).
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas yaitu penguapan dan curah
hujan. Makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka
salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan
air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. Makin besar/banyak curah
hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan
sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak
sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah,
dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya
akan tinggi (Annisa 2008).
Di perairan lepas pantai yang dalam,
angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan.
Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan
dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang
menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan
homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh
pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa
air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran
salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer
method). Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis
hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap
(monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu
daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS),
salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya
evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga
salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman.
Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di
kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).
2.3 Respon
Fisiologis Ikan Terhadap Salinitas
Daya
tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh
dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan
melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai
pengaturan keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air
media hidup organisme. Organisme perairan harus melakukan osmoregulasi karena harus
terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan, membran sel yang
permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat, dan
adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan (Kimball
1992). Proses osmoregulasi pada ikan air
tawar menyebabkan mineral dan garam cepat hilang pada air pemeliharaan,
sedangkan pada pemeliharaan ikan laut, air akan menjadi semakin pekat akibat
pengeluaran garam dan pengambilan air (Subani 1984). Ikan sebagai
hewan yang hidup di air mempunyai kapasitas osmoregulasi melalui membran yang
dalam hal ini adalah insang. Terganggunya proses osmoregulasi dapat disebabkan
karena insang menjadi lebih permaebel sehingga sulit di lalui air. Akibatnya
pengeluaran garam dari insang menjadi terhenti dan menyebabkan gagal ginjal
(Lesmana 2001).
Insang
berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi sebagai alat
ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion, dan
osmoregulator. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam
pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras,
dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri
atas banyak lamella, yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang
oleh struktur lamella itu yang tersusun atas sel-sel tiang sebagai penyangga
pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang
sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah
kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya, tergantung tingkah
laku ikan (Fujaya 2008).
BAB 3
METODE
3.1 Waktu
dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air telah dilaksanakan pada hari Senin tanggal 13 November 2017 pukul 19.00 WIB – 21.00 WIB di Laboratorium Teknologi
Hasil Perairan (THP) Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum kali
ini adalah akuarium, aerator, refraktometer, stopwatch, kamera, lap atau
tissue, gayung, thermometer, dan timbangan digital dan kertas label. Sedangkan
bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah udang vanamei, air tawar,
dan air laut
3.3 Metode
Percobaan
Metode
yang digunakan pada praktikum ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangn acak lengkap merupakan
suatu perobaan yang digunakan untuk mengetahui homogen atau tidak ada faktor
lain yang mempengaruhi respon di luar faktor yang diteliti. Pada rancangan acak
lengkap digunakan jika kondisi unit percobaan yang digunakan relatif homogen.
Penerapan perlakuan terhadap unit percobaan dilakukan secara acak terhadap
seluruh unit percobaan. Seperti percobaan-percobaan yang dilakukan di
laboratorium ( Pratista 1997). Rancangan
acak lengkap dipergunakan jika variabel luar tidak diketahui, atau bila
pengaruh variabel ini yang sengaja tidak dikontrol terhadap variasi subyek,
adalah sangat kecil. Rancangan ini juga dipakai jika diketahui bahwa subyek
keadaannya seragam dan inferensi yang dibuat berdasarkan hasil percobaan tidak
dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifat percobaan tidak dimaksudkan sebagai
inferensi yang bersifat luas serta berlaku untuk populasi yang lebih beragam.
Oleh karena itu, rancangan ini tidak disarankan jika hasil ujinya dipergunakan
untuk inferensi populasi yang lebih beragam.
Berdasarkan
praktikum fisiologi hewan air mengenai pengaruh perbedaan kadar garam terhadap
fisiologis ikan, data hasil pengamatan yang didapat adalah sebagai berikut:
Tabel
1. RAL penelitian respon udang vanamei (Litopenaeus vannamei) terhadap
perbedaan kadar garam
P/U
|
A
|
B
|
Salinitas 0
|
37.5
|
37.5
|
Salinitas 15
|
25
|
11.11
|
Salinitas 28
|
33.33
|
14.29
|
3.4 Analisis Ragam
Data hasil perhitungan dari pengamatan
sebagai berikut
Tabel 2. Hasil Analisis Ragam
ANOVA
|
||||||
Source of Variation
|
SS
|
df
|
MS
|
F
|
P-value
|
F crit
|
Between Groups
|
399.0961
|
2
|
199.5481
|
2.155514
|
0.262854
|
9.552094
|
Within Groups
|
277.7269
|
3
|
92.57562
|
|||
Total
|
676.823
|
5
|
Berdasarkan dari hasil perhitungan
tersebut, diketahui bahwa fhitung adalah 0,262854 dan ftabel adalah 9,552094
maka dapat disimpulkan bahwa fhitung lebih kecil dibandingkan dengan ftabel hal
ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan tersebut
gagal tolak H0, yang berarti perubahan kadar garam tidak berpengaruh
terhadap bobot relatif udang vanamei (Litopenaeus vannamei).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Gambar
1. Grafik pengaruh salinitas terhadap bobot relative udang vanamei

Gambar
2. Pengaruh salinitas terhadap SR udang vanamei
4.2 Pembahasan
Salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang
memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang yang ber
umur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhan dapat optimal.
Setelah umur lebih dari 2 bulan pertumbuhan relatif baik dan kisaran salinitas
yang dibutuhkan 5-30 ppt. Pada musim kemarau kadar garam bisa mencapai 40 ppt.
(Amri 2008)
Pada gambar
1 terlihat sekali bahwa terjadi penurunan bobot yang sangat drastis dari air
tawar yang memiliki kadar garam 0 ppt ke air payau yang memiliki kadar garam 15
ppt. Hal tersebut terjadi karena asal udang vanamei yang berhabitat di air
payau yaitu dengan batas salinitas sekitar 15-25 ppt untuk udang yang berumur
1-2 bulan, maka dari itu udang vanamei termasuk ke dalam hewan hipertonik yaitu
dimana konsentrasi ion tubuh lebih besar dibandingkan dengan konsentasi ion di
lingkungan. Respon fisiologis yang dilakukan oleh udang terhadap perubahan
salinitas tersebut ialah dengan melakukan sedikit minum, lalu insang udang
aktif mengambil ion di lingkungan karena tubuh udang kekurangan ion, serta urin
yang dikeluarkannya pun sangat encer (Nur 2011), sehingga bobot udang mengalami
penurunan. Tingkah laku yang di tunjukkan oleh udang pada air tawar yaitu udang
bergerak hanya pada dasar permukaan akuarium, pergerakannya pun menjadi pasif
serta berenang menabrak-nabrak kaca akuarium.
Namun
pada salinitas 28ppt yaitu air laut, bobot udang mengalami kenaikan. Hal
tersebut terjadi karena terjadinya proses hipotonik yaitu dimana konsentasi ion
tubuh lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi ion di lingkungan. Respon
fisiologis yang dilakukan oleh udang pada salinitas ini ialah dengan melakukan
banyak pengambilan air dari lingkungan, lalu insang aktif untuk mengeluarkan
ion yang terkandung di dalam tubuh, serta urin yang dikeluarkannya pun lebih
pekat karena lebih banyak mengandung ion dibandingkan dengan udang yang berada
pada air tawar, sehingga terjadi kenaikan bobot pada udang (Nur 2011). Tingkah
laku yang ditunjukkan oleh udang pada air laut yaitu udang bergerak naik turun
ke atas permukaan dan kebawah permukaan akuarium, pergerakannya pun lebih aktif
dibandingkan dengan udang yang berada pada air tawar, serta berenang
menabrak-nabrak kaca akuarium.
Gambar
2 menunjukkan bahwa hubungan antara salinitas dengan SR udang vanamei. Pada
gambar tersebut sangat terlihat jelas bahwa pada salinitas 0 yaitu air tawar
udang mengalami kelangsungan hidup yang sangat rendah sehinga terjadi kematian
pada 9 ekor udang, hal ini diduga karena kadar garam yang terlalu rendah bagi
udang. Menurut
Boyd (1996), udang sebenarnya termasuk hewan euryhalin yaitu hewan yang
menyesuaikan diri terhadap rentang kadar garam yang lebar. Namun karena
dibudidayakan secara komersial, rentang kadar garam optimal perlu
dipertahankan. Pada rentang kadar garam optimal (12-20) energi yang digunakan
untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak
(osmoregulasi) cukup rendah sehingga sebagian besar energi asal pakan dapat
digunakan untuk pertumbuhan. Pada salinitas 28ppt yaitu air laut udang
mengalami kelangsungan hidup yang standar karena pada kadar garam ini udang
masih dapat bertahan hidup. Haliman
dan Adijaya (2005), menyebutkan bahwa udang muda yang berumur 1-2 bulan
memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhannya optimal. Setelah umurnya
lebih dari 2 bulan, pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5-30 ppt.
Pada salinitas tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses
osmoregulasi terganggu. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan udang akan
melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi
dibandingkan untuk pertumbuhan. Menurut Boyd (1979), salinitas berpengaruh
terhadap tekanan osmotik dari sel-sel organisme, perubahan yang drastis dan
melewati batas toleransi dapat menyebabkan kematian bagi organisme yang ada
pada perairan. Menurut Buwono (1993), bahwa salinitas air terlalu tinggi
dapat menghambat terjadinya proses ganti kulit (moulting). Pertumbuhan udang
akan lebih cepat pada salinitas antara 5-10 ppt tapi lebih sensitif terhadap
penyakit.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dan pembahasan yang telah diperoleh selama kegiatan praktikum berlangsung
maka dapat disimpulkan bahwa pada salinitas 0 ppt udang vanamei mengalami
kelangsungan hidup yang angat rendah, dan pada salinitas 28 ppt udang vanamei
mengalami kelangsungan hidup yang standar, namun pada salinitas 15ppt udang
vanamei mengalami kelangsungan hidup yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan udang
vanamei memiliki habitat perairan payau yaitu dengan toleransi salinitas
15-25ppt.
5.2 Saran
Sebaiknya digunakan udang yang lebih
besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi pada udang selama
pengamatan. Dan sebaiknya para praktikan lebih teliti lagi dalam membuat
larutan air payau agar tidak terjadi kesalahan dalam praktikum yang dilakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin. 2011. Penambahan Kalsium Untuk Meningkatkan
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Juvenil Udang Galah Pada Media Bersalinitas. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Amri, K., dan I. Kanna. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Annisa. 2008. Salinitas. Erlangga: Jakarta
Arif
Pratista. 1997. Aplikasi SPSS 10.05 dalam
Statistik dan Rancangan Percobaan. Alfabeta.
Jakarta
Boyd, C. E. 1996. Water Quality
Management and Aeration Shrimp Farming. US Wheat
Associates.
Boyd, C. E, dan Turker, C. S. 1998.
Pond Aquaculture Water Quality Management . Springer Science + Business Media: New York
Buwono. 1993. Hidrologi
Operasional Jilid Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti Bandung.
Djoko, Ridwan. 2004. Laut
Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Fujaya,
Y. 2008. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta : Jakarta.
Haliman,
R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei. Penebar Swadaya: Jakarta.
Haliman
R.W dan D. Adijaya, 2005. Klasifikasi Udang Vaname. Penebar Swadaya:
Jakarta
Haliman, R.W dan Dian A.S. 2006. Udang
Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan.Yogyakarta : Kanisius.
Kimball JW. 1992. Biologi Umum.
Jakarta: Erlangga
Kordi, M. G. H. K., dan A. B.
Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta.
Lesmana,
D.S. 2004. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya: Jakarta.
Nur, A. 2011. Manajemen
Pemeliharaan Udang Vannamei. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Subani,
W., 1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus sp) Kaitannya
dengan Hasil Tangkapan. Laporan Penelitian
Perikanan Laut (30): 99 – 105.
Suyanto, R dan Mujiman, A, 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya: Jakarta.
Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991.
Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute. USA