Sabtu, 17 Maret 2018

LAPORAN PRAKTIKUM PENGARUH PERBEDAAN KADAR GARAM TERHADAP FISIOLOGIS IKAN



 Laporan Praktikum 3 Fisiologi Hewan Air

PENGARUH PERBEDAAN KADAR GARAM TERHADAP FISIOLOGIS IKAN












Trisda Sela Mutiara
4443160022
Kelompok 3




JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTAN IAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Di lingkungan perairan, kondisi tekanan berbeda dengan keadaan didaratan hal ini dikarenakan perbedaan parameter fisika yang mempengaruhi. Salah satu  parameter yang mempengaruhi adalah salinitas. Menurut Ye et al. (2009) dalam Abidin (2011) bahwa salinitas berhubungan dengan tekanan osmotik dan ionik air,  baik sebagai media internal maupun eksternal. Tekanan osmotik media selain menentukan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh juga mempunyai pengaruh terhadap metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi. Kemampuan ikan mempertahankan keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut disebut osmoregulasi.
Osmoregulasi merupakan proses menjaga keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan. Proses inti dalam osmoregulasi adalah osmosis. Dimana osmosis merupakan pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi menuju cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (Isnaeni 2006). Kondisi ini kemudian memaksa ikan ataupun organisme lain untuk dapat melakukan proses penyesuaian dan pertahanan tubuh terhadap perbadaan konsentrasi ion dan konsentrasi cairan baik dalam tubuh ikan sendiri maupun terhadap lingkungan tempat hidupnya. Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mempertahankan tekanan osmosis dalam tubuhnya.
Disamping itu, perbedaan kondisi lingkungan juga berpengaruh terhadap ketahanan osmoregulasi yang terjadi pada tubuh ikan. Berdasarkan perbedaan itulah maka ikan dikelompokkan menjadi tiga yakni ikan air tawar, ikan air payau dan ikan air laut. Kemampuan tubuh terhadap  perubahan salinitas menjadi pembeda ketiganya. Pada ikan air tawar cara membatasi  pemasukan air dan kehilangan ion yakni dengan cara membentuk permukaan tubuh yang impermeable terhadap air sedangkan untuk ikan air laut osmoregulasi diperoleh dengan memasukan ion tertentu dari air laut, pemasukan tersebut membuat cairan tubuh hewan menjadi hiperosmotik dibandingkan air laut. Untuk ikan air payau hewan ini memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap perubahan kadar garam dihabitatnya (Isnaeni 2006). Oleh sebabnya termasuk dalam kelompok hewan eurohalain. Perbedaan toleransi ikan terhadap perubahan salinitas diperairan sangat ditentukan oleh fungsi fisiologinya. Menurut Isnaeni (2006) ikan yang mampu untuk Menggunakan insangnya sebagai tempat pengambilan ataupun pembuangan air dan  berbagai zat terlarut membuat hewan tersebut memiliki toleransi besar (eurohalin) terhadap perbuahan salinitas dibanding dengan ikan-ikan yang tidak memiliki daya toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas tersebut atau dalam hal ini bersifat stenohalin.

1.2 Tujuan
            Praktikum ini bertujuan untuk menentukan kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh biota akuatik dan responnya untuk mengatasi perubahan keadaan lingkungan.




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Biologi Ikan
Menurut Haliman dan Dian (2006), klasifikasi udang putih (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut:
Kingdom               : Animalia
Sub kingdom         : Metazoa
Filum                     : Arthropoda
Subfilum               :Crustacea
Kelas                     : Malacostraca
Subkelas                : Eumalacostraca
Superordo             : Eucarida
Ordo                      : Decapodas
Subordo                : Dendrobrachiata
Familia                  : Penaeidae
Sub genus              : Litopenaeus
Spesies                  : Litopenaeus vannamei
Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa udang putih memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang putih sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan makan, bergerak, dan membenamkan diri kedalam lumpur (burrowing ), dan memiliki organ sensor, seperti pada antenna dan antenula. Kordi (2007) juga menjelaskan bahwa kepala udang putih terdiri dari antena, antenula,dan 3 pasang maxilliped. Kepala udang putih juga dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada ujung peripoda beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus). Dactylus ada pada kaki ke-1, ke-2, dan ke-3. Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang (pleopoda) kaki renang dan sepasang uropods (ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson (ekor) (Suyanto dan Mujiman 2003). Bentuk rostrum udang putih memanjang, langsing, dan pangkalnya hamper berbentuk segitiga. Uropoda berwarna merah kecoklatan dengan ujungnya kuning kemerah-merahan atau sedikit kebiruan, kulit tipis transparan. Warna tubuhnya putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada ekor (Wayban dan Sweeney 1991). Udang betina dewasa tekstur punggungnya keras, ekor (telson) dan ekor kipas (uropoda) berwarna kebiru-biruan, sedangkan pada udang jantan dewasa memiliki ptasma yang simetris. Spesies ini dapat tumbuh mencapai panjang tubuh 23 cm ( Wyban dan Sweeney 1991).
Habitat udang vaname usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai. Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang menunjukkan tingkat usia. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5 tahun pada musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya atau calon spowner berbondong – bonding ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50 meter untuk melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang. (Wyban dan Sweeney 1991). Udang vaname sebenarnya bukan udang local atau asli Indonesia. Udang ini berasal dari meksiko yang kemudian mengalami kemajuan pesat dalam pembudidayaannya dan menyebar ke Hawaii hingga Asia.

2.2  Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine (Djoko 2011).
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas yaitu penguapan dan curah hujan. Makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. Makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.  Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi (Annisa 2008).
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method). Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

2.3  Respon Fisiologis Ikan Terhadap Salinitas
Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air media hidup organisme. Organisme perairan harus melakukan osmoregulasi karena harus terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan, membran sel yang permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat, dan adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan (Kimball 1992). Proses osmoregulasi pada ikan air tawar menyebabkan mineral dan garam cepat hilang pada air pemeliharaan, sedangkan pada pemeliharaan ikan laut, air akan menjadi semakin pekat akibat pengeluaran garam dan pengambilan air (Subani 1984). Ikan sebagai hewan yang hidup di air mempunyai kapasitas osmoregulasi melalui membran yang dalam hal ini adalah insang. Terganggunya proses osmoregulasi dapat disebabkan karena insang menjadi lebih permaebel sehingga sulit di lalui air. Akibatnya pengeluaran garam dari insang menjadi terhenti dan menyebabkan gagal ginjal (Lesmana 2001).
            Insang berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat pertukaran ion, dan osmoregulator. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamella, yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamella itu yang tersusun atas sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat besar variasinya, tergantung tingkah laku ikan (Fujaya 2008).



BAB 3
METODE

3.1 Waktu dan Tempat
            Praktikum Fisiologi Hewan Air telah dilaksanakan pada hari Senin tanggal 13 November 2017 pukul 19.00 WIB – 21.00 WIB di Laboratorium Teknologi Hasil Perairan (THP) Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3.2 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah akuarium, aerator, refraktometer, stopwatch, kamera, lap atau tissue, gayung, thermometer, dan timbangan digital dan kertas label. Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah udang vanamei, air tawar, dan air laut

3.3 Metode Percobaan
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangn acak lengkap merupakan suatu perobaan yang digunakan untuk mengetahui homogen atau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi respon di luar faktor yang diteliti. Pada rancangan acak lengkap digunakan jika kondisi unit percobaan yang digunakan relatif homogen. Penerapan perlakuan terhadap unit percobaan dilakukan secara acak terhadap seluruh unit percobaan. Seperti percobaan-percobaan yang dilakukan di laboratorium ( Pratista 1997). Rancangan acak lengkap dipergunakan jika variabel luar tidak diketahui, atau bila pengaruh variabel ini yang sengaja tidak dikontrol terhadap variasi subyek, adalah sangat kecil. Rancangan ini juga dipakai jika diketahui bahwa subyek keadaannya seragam dan inferensi yang dibuat berdasarkan hasil percobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifat percobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifat luas serta berlaku untuk populasi yang lebih beragam. Oleh karena itu, rancangan ini tidak disarankan jika hasil ujinya dipergunakan untuk inferensi populasi yang lebih beragam.
                  Berdasarkan praktikum fisiologi hewan air mengenai pengaruh perbedaan kadar garam terhadap fisiologis ikan, data hasil pengamatan yang didapat adalah sebagai berikut:
Tabel 1. RAL penelitian respon udang vanamei (Litopenaeus vannamei) terhadap perbedaan kadar garam
P/U
A
B
Salinitas 0
37.5
37.5
Salinitas 15
25
11.11
Salinitas 28
33.33
14.29

3.4 Analisis Ragam
Data hasil perhitungan dari pengamatan sebagai berikut
Tabel 2. Hasil Analisis Ragam
ANOVA






Source of Variation
SS
df
MS
F
P-value
F crit
Between Groups
399.0961
2
199.5481
2.155514
0.262854
9.552094
Within Groups
277.7269
3
92.57562










Total
676.823
5





Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, diketahui bahwa fhitung adalah 0,262854 dan ftabel adalah 9,552094 maka dapat disimpulkan bahwa fhitung lebih kecil dibandingkan dengan ftabel hal ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan tersebut  gagal tolak H0, yang berarti perubahan kadar garam tidak berpengaruh terhadap bobot relatif udang vanamei (Litopenaeus vannamei).





BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil

Gambar 1. Grafik pengaruh salinitas terhadap bobot relative udang vanamei
Gambar 2. Pengaruh salinitas terhadap SR udang vanamei

4.2 Pembahasan
            Salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang yang ber umur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhan dapat optimal. Setelah umur lebih dari 2 bulan pertumbuhan relatif baik dan kisaran salinitas yang dibutuhkan 5-30 ppt. Pada musim kemarau kadar garam bisa mencapai 40 ppt. (Amri 2008)
            Pada gambar 1 terlihat sekali bahwa terjadi penurunan bobot yang sangat drastis dari air tawar yang memiliki kadar garam 0 ppt ke air payau yang memiliki kadar garam 15 ppt. Hal tersebut terjadi karena asal udang vanamei yang berhabitat di air payau yaitu dengan batas salinitas sekitar 15-25 ppt untuk udang yang berumur 1-2 bulan, maka dari itu udang vanamei termasuk ke dalam hewan hipertonik yaitu dimana konsentrasi ion tubuh lebih besar dibandingkan dengan konsentasi ion di lingkungan. Respon fisiologis yang dilakukan oleh udang terhadap perubahan salinitas tersebut ialah dengan melakukan sedikit minum, lalu insang udang aktif mengambil ion di lingkungan karena tubuh udang kekurangan ion, serta urin yang dikeluarkannya pun sangat encer (Nur 2011), sehingga bobot udang mengalami penurunan. Tingkah laku yang di tunjukkan oleh udang pada air tawar yaitu udang bergerak hanya pada dasar permukaan akuarium, pergerakannya pun menjadi pasif serta berenang menabrak-nabrak kaca akuarium.
            Namun pada salinitas 28ppt yaitu air laut, bobot udang mengalami kenaikan. Hal tersebut terjadi karena terjadinya proses hipotonik yaitu dimana konsentasi ion tubuh lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi ion di lingkungan. Respon fisiologis yang dilakukan oleh udang pada salinitas ini ialah dengan melakukan banyak pengambilan air dari lingkungan, lalu insang aktif untuk mengeluarkan ion yang terkandung di dalam tubuh, serta urin yang dikeluarkannya pun lebih pekat karena lebih banyak mengandung ion dibandingkan dengan udang yang berada pada air tawar, sehingga terjadi kenaikan bobot pada udang (Nur 2011). Tingkah laku yang ditunjukkan oleh udang pada air laut yaitu udang bergerak naik turun ke atas permukaan dan kebawah permukaan akuarium, pergerakannya pun lebih aktif dibandingkan dengan udang yang berada pada air tawar, serta berenang menabrak-nabrak kaca akuarium.
            Gambar 2 menunjukkan bahwa hubungan antara salinitas dengan SR udang vanamei. Pada gambar tersebut sangat terlihat jelas bahwa pada salinitas 0 yaitu air tawar udang mengalami kelangsungan hidup yang sangat rendah sehinga terjadi kematian pada 9 ekor udang, hal ini diduga karena kadar garam yang terlalu rendah bagi udang. Menurut Boyd (1996), udang sebenarnya termasuk hewan euryhalin yaitu hewan yang menyesuaikan diri terhadap rentang kadar garam yang lebar. Namun karena dibudidayakan secara komersial, rentang kadar garam optimal perlu dipertahankan. Pada rentang kadar garam optimal (12-20) energi yang digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak (osmoregulasi) cukup rendah sehingga sebagian besar energi asal pakan dapat digunakan untuk pertumbuhan. Pada salinitas 28ppt yaitu air laut udang mengalami kelangsungan hidup yang standar karena pada kadar garam ini udang masih dapat bertahan hidup. Haliman dan Adijaya (2005), menyebutkan bahwa udang muda yang berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhannya optimal. Setelah umurnya lebih dari 2 bulan, pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5-30 ppt. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan. Menurut Boyd (1979), salinitas berpengaruh terhadap tekanan osmotik dari sel-sel organisme, perubahan yang drastis dan melewati batas toleransi dapat menyebabkan kematian bagi organisme yang ada pada perairan. Menurut  Buwono (1993), bahwa salinitas air terlalu tinggi dapat menghambat terjadinya proses ganti kulit (moulting). Pertumbuhan udang akan lebih cepat pada salinitas antara 5-10 ppt tapi lebih sensitif terhadap penyakit.

           


BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
            Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diperoleh selama kegiatan praktikum berlangsung maka dapat disimpulkan bahwa pada salinitas 0 ppt udang vanamei mengalami kelangsungan hidup yang angat rendah, dan pada salinitas 28 ppt udang vanamei mengalami kelangsungan hidup yang standar, namun pada salinitas 15ppt udang vanamei mengalami kelangsungan hidup yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan udang vanamei memiliki habitat perairan payau yaitu dengan toleransi salinitas 15-25ppt.
5.2 Saran
            Sebaiknya digunakan udang yang lebih besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi pada udang selama pengamatan. Dan sebaiknya para praktikan lebih teliti lagi dalam membuat larutan air payau agar tidak terjadi kesalahan dalam praktikum yang dilakuan.




DAFTAR PUSTAKA

Abidin. 2011. Penambahan Kalsium Untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup    dan Pertumbuhan Juvenil Udang Galah Pada Media Bersalinitas. Institut        Pertanian Bogor: Bogor.
Amri, K., dan I. Kanna. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Annisa. 2008. Salinitas. Erlangga: Jakarta
Arif Pratista. 1997. Aplikasi SPSS 10.05 dalam Statistik dan Rancangan Percobaan.          Alfabeta. Jakarta
Boyd, C. E. 1996. Water Quality Management and Aeration Shrimp Farming. US Wheat Associates.
Boyd, C. E, dan Turker, C. S. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management .         Springer Science + Business Media: New York
Buwono. 1993. Hidrologi Operasional Jilid Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti            Bandung.
Djoko, Ridwan. 2004. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta : Jakarta.
Haliman, R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei. Penebar Swadaya: Jakarta.
Haliman R.W dan D. Adijaya, 2005. Klasifikasi Udang Vaname. Penebar Swadaya: Jakarta
Haliman, R.W dan Dian A.S. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan.Yogyakarta : Kanisius.
Kimball JW. 1992. Biologi Umum. Jakarta: Erlangga
Kordi, M. G. H. K., dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam     Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta.
Lesmana, D.S. 2004. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya:      Jakarta.
Nur, A. 2011. Manajemen Pemeliharaan Udang Vannamei. Pusat Penyuluhan       Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Subani, W., 1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny  Lobster, Panulirus sp) Kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Laporan     Penelitian Perikanan Laut (30): 99 – 105.
Suyanto, R dan Mujiman, A, 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya:     Jakarta.
Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute. USA